PAKSAAN
- Read more about PAKSAAN
- Log in to post comments
Sepasang muda-mudi yang akan menikah, datang menemui pendeta di gereja untuk mengisi formulir pernikahan.
Nanang: Ma, kemarin guru Sekolah Minggu bilang kalau anak Tuhan tidak boleh munafik. Munafik itu apa sih, Ma?
Sepasang muda-mudi yang akan menikah, datang menemui pendeta di gereja untuk mengisi formulir pernikahan.
Seorang pengusaha konfeksi selalu merasa khawatir. Akibatnya, ia sering tidak bisa tidur pada malam hari. Ia merasa beban hidupnya makin berat.
Suatu hari, ia memutuskan datang kepada pendetanya untuk konseling mengenai masalahnya. Ia berkata, "Pak Pendeta, saya benar-benar punya masalah berat. Saya tidak bisa tidur setiap malam. Apa yang harus saya lakukan?"
Pendetanya menjawab, "Apa Bapak sudah mencoba melakukan teknik menghitung domba?" Si pengusaha pulang dan bertekad melaksanakan nasihat sang pendeta. Seminggu kemudian, ia kembali menemui pendetanya dengan wajah yang makin kuyu dan lesu, "Pak Pendeta, saya sudah menjalankan nasihat Bapak. Saya bahkan menghitung domba sampai 20.000 ekor. Tetapi, saya kemudian membayangkan 20.000 ekor domba bisa menghasilkan 40 kilo benang wol. Itu cukup untuk membuat 30 meter bahan wol. Bisa dibikin 12.000 setel jas. Padahal, toko saya hanya muat 2.000 jas. Dengan stok berlebih sebanyak itu, bagaimana saya bisa tidur?"
Ketika akan memulai khotbahnya, seorang pendeta menemukan sehelai kertas di mimbar dengan tulisan, "Bodoh". Dengan tersenyum pendeta itu melambaikan surat tersebut di hadapan jemaatnya. Ia membacakan apa yang tertulis di situ. Kemudian ia berkata, "Saya sering mendapat surat dari orang yang lupa menuliskan namanya. Tetapi ini sungguh suatu perkecualian. Orang ini menulis surat, tetapi hanya menuliskan namanya, ia lupa menulis isi suratnya."
Seorang desainer terkemuka ingin membuat rancangan pakaian yang cocok dikenakan ke gereja. Selama ini, ia hanya merancang pakaian pesta. Ia lalu menemui pendeta untuk meminta masukan.
"Menurut Bapak, model pakaian yang cocok untuk dikenakan ke gereja tuh yang seperti apa?" tanyanya.
"Semua pakaian cocok, yang penting bersih dan rapi," jawab pendeta.
Sang desainer tidak puas. "Maksud saya, jenis potongan bagaimana yang cocok menurut Bapak?" tanyanya lagi.
Pendeta menjawab, "Semua potongan cocok. Asalkan arahnya tepat."
Si desainer bingung, "Maksud Bapak?"
Sang Pendeta menjelaskan, "Hindarilah potongan yang salah arah. Misalnya, potongan bagian atas, jangan dipotong semakin ke bawah. Sebaliknya, potongan bagian bawah, jangan dipotong semakin ke atas."
Tiga orang pendeta duduk membahas posisi terbaik untuk berdoa. Kebetulan seorang tukang telepon sedang memperbaiki tiang telepon di dekat situ.
"Berlutut itu posisi terbaik," kata yang satu
"Tidak," bantah yang lain. "Saya merasakan jamahan Tuhan jika saya berdiri sambil mengangkat kedua tangan."
"Kalian berdua salah," potong yang ketiga. "Posisi doa yang paling efektif itu menelungkup, wajah menyentuh lantai."
Tukang telepon itu gatal mendengarnya. "Hai, Pak Pendeta!" ia menyela.
"Doa terbaik yang pernah saya lakukan adalah saat bergantung terbalik di tiang telepon!"
Sepulang dari kebaktian Natal, seorang istri pendeta berbaring di sofa karena kelelahan. Ia menumpahkan kekesalannya, "Aduuuh, saya benar-benar merasa capek."
Sang suami memandangnya dan berkata, "Saya heran dengan kamu. Saya telah memimpin dua kebaktian Natal kemarin malam. Hari ini memberi lima kali khotbah. Lalu, kenapa kamu yang merasa kelelahan, Bu?"
Dengan wajah masam sang istri menjawab, "Masalahnya, saya harus duduk mendengarkan semua khotbah itu, kan?"
Seorang anak kecil berusia 4 tahun diajak ibunya ke gereja. Selesai kebaktian, mereka bersalaman dengan pendeta di depan pintu. Sambil menatap anak itu, Pak Pendeta berkata, "Halo, apa kabar? Sudah umur berapa, nih?" Anak itu tidak menjawab.
Pak pendeta mendekatkan kepalanya, "Umurmu berapa, Sayang?" tanyanya.
Si anak mengangkat empat jari tangannya. Pak pendeta tersenyum. "Itu berapa?" tanyanya lagi. Si anak diam. Pak pendeta bertanya lagi, "Nak, kamu bisa omong, tidak?"
Anak itu memandang Pak Pendeta dan berkata, "Pak Pendeta bisa berhitung, tidak?"
Suatu hari seorang pendeta berkunjung ke rumah jemaatnya. Ia disambut oleh Pak Dermawan dan istrinya. Mereka kemudian berbincang-bincang. Pak Dermawan bercerita tentang sebuah keluarga yang sedang mengalami musibah.
Ia berkata, "Pak, di pinggir kota ini ada sebuah keluarga yang miskin. Sang kepala keluarga telah meninggal dunia. Sang ibu saat ini sedang sakit parah, sehingga tidak bisa pergi kerja. Anak-anaknya mulai kelaparan. Kalau sampai akhir minggu ini tidak ada orang yang membantu membayarkan uang sewa rumahnya, mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka. Tidak punya tempat berlindung dari panas dan hujan. Padahal uang sewanya hanya 500 ribu."
Pak Pendeta tampak terharu, "Betapa menyedihkan. Dari mana Bapak tahu tentang cerita ini?"
Pak Dermawan menjawab, "Saya pemilik rumah sewa mereka."
Seorang ibu mendatangi seorang pendeta, meminta pendeta itu berbicara kepada anaknya, agar menghentikan kebiasaannya makan permen. Pendeta itu menyimak permohonan ibu tersebut, lalu meminta ibu itu datang lagi minggu depan.
Ibu itu mematuhinya. Ketika ia datang lagi, pendeta itu menatap si bocah dan berkata, "Nak, berhentilah makan permen!"
Terperangah oleh sederhananya penyelesaian masalah itu, si ibu bertanya, "Pak Pendeta, kenapa kami harus menunggu sampai seminggu? Bukankah Bapak bisa mengatakannya waktu kami datang menemui Bapak dulu?"
"Saya meminta kalian menunggu selama seminggu karena seminggu yang lalu saya masih makan permen."