Di kereta, Adi duduk bersebelahan dengan seorang dokter yang sedang membaca surat sambil menangis.
Adi: Mengapa menangis, Dok?
Dokter: Ini, Mas. Saya baca surat cinta dari pasien saya. (Sambil menyodorkan surat cinta beserta foto pengirimnya.)
Adi (heran): Kenapa Dokter sedih? Dari fotonya, pasien dokter ini terlihat cantik dan muda.
Dokter (sambil menahan tangis): Usia saya sudah kepala empat, tapi susah dapat pendamping. Tidak ada perempuan yang mau sama saya. Tapi sekalinya ada wanita yang bilang saya ganteng dan tertarik pada saya, dan itu adalah pasien saya.
Adi: Sudahlah, Dok. Apakah kode etik Dokter melarang berpacaran dengan pasien?
Dokter: Tidak, sih.... (sambil menghela napas)
Adi: Apakah dia bersuami?
Dokter: Belum, bukan itu masalahnya.
Adi (makin berlagak menasihati): Nah, kenapa ragu? Toh, rumah sakit tempat Dokter bekerja tidak mungkin melarang seorang dokter menikah dengan pasiennya. Apa lagi?
Dokter: Mas... Mas ini tahu tidak saya kerja di rumah sakit mana?
Adi: Tidak, Dok. Memangnya di mana?
Dokter (sambil menangis): Mas, saya dokter di rumah sakit jiwa....
Adi (dengan polosnya): Apa salahnya dicoba dulu, Dok!