- Log in to post comments
Jika kamu disuruh memilih antara hidup menderita dengan hidup sukacita, manakah yang akan kamu pilih? Pasti deh kamu akan memilih hidup sukacita. Dan bukan hanya kamu saja, tetapi teman-teman kamu bahkan semua orang pasti akan memilih hal yang sama dengan pilihan kamu. Tidak dapat dipungkiri bahwa hidup penuh sukacita adalah idaman dari setiap orang.
Hidup penuh sukacita! Mudah bagi kita untuk mengucapkannya namun sulit setengah mati bagi kita untuk mewujudnyatakannya di dalam hidup keseharian kita masing-masing. Suatu waktu kita dapat bersukacita, memuji Tuhan dengan sangat luar biasa. Namun di waktu yang lain masihkah kita dapat bersukacita, yaitu pada saat kita harus terbaring lemas di atas tempat tidur karena gejala typhus, pada waktu kamu mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, pada masa sahabat karibmu berbalik mengkhianatimu, atau ketika orang tua kita meninggal dunia karena kecelakaan. Masihkah mampukah ucapan "Terima kasih Tuhan!" keluar melalui bibir kita?
Realita hidup yang begitu keras ini telah membuktikan kepada kita bahwa tidak mudah untuk menghasilkan sebuah hidup penuh sukacita yang senantiasa. Namun meski demikian Rasul Paulus, hampir setiap kali di dalam tulisan-tulisannya menyerukan "bersukacitalah!" kepada orang- orang percaya yang digembalakannya.
Kalau begitu apa yang dimaksud Paulus dengan sukacita?
Sukacita bukan berarti bersenang-senang untuk memuaskan keinginan diri kita atau bergembira karena sebuah prestasi yang telah kita capai. Sukacita bukan karena kita dapat tertawa-tawa, melompat-lompat dan berteriak sekeras-kerasnya untuk melepaskan rasa jenuh di dalam sebuah diskotik, bukan pula sekadar karena kita bila naik kelas, bukan pula hanya karena kita dibelikan sebuah jam tangan baru oleh sang kekasih. Sukacita seperti itu hanyalah bersifat sementara saja, dan biasanya mereka yang memegang konsep sukacita seperti demikian saja, ketika ada masalah datang mereka tidak memiliki kesiapan untuk menghadapinya.
Sukacita yang ingin Paulus maksudkan adalah sukacita yang di dalam Tuhan, bermegah di dalam Dia dan melakukan kehendak-Nya. Sukacita yang di dalam Tuhan tidak berdasarkan respons terhadap hal-hal yang terjadi di luar diri kita. Sukacita di dalam Tuhan membuat kita mampu bersukacita meskipun kita sedang diliput oleh keadaan dukacita sekalipun atau mungkin juga dalam keadaan sangat mengecewakan atau menyedihkan.
Salah satu Surat Rasul Paulus yang luar biasa mengagumkan adalah surat kepada jemaat di Filipi. Surat Filipi memilik nada sukacita yang begitu kental lebih dari pada surat-surat Rasul Paulus yang lainnya. Dalam surat tersebut Paulus menyampaikan ucapan terima kasih serta memberi nasehat untuk menguatkan persekutuan orang-orang percaya di Filipi. Dan yang membuat surat ini luar biasa mengagumkan adalah karena ketika menulis surat tersebut, Paulus bukan berada dalam sebuah kondisi yang menyenangkan, bukan pula di dalam sebuah tempat yang nyaman, melainkan dalam keadaannya sebagai seorang pesakitan yang ditawan, terkungkung, tersendiri, jauh dari saudara-saudara seiman, bahkan kakinya harus dirantai/dipasung bersama dengan seorang prajurit yang bertugas menjaganya. Dan sesungguhnya saat itu ia seolah-olah sedang berada di penghujung akhir hidupnya, yang akan segera diakhiri, dalam sebuah hukuman mati.
Sungguh luar biasa apa yang telah didemonstrasikan Rasul Paulus di dalam perjalanan hidupnya, di mana dalam kondisi seperti demikian masih dapat bersukacita dan bukan hanya itu saja tapi ia juga masih mampu menasehatkan dan menyerukan kepada jemaat-jemaat di Filipus "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!"(Fil 4:4). Catatan-catatan di dalam Filipi memberi petunjuk, hal apa saja yang memampukan Paulus melakukan itu semua.
Pertama, Ambisi Paulus yang utama di dalam hidupnya adalah untuk selalu membawa kemuliaan bagi Yesus - bahkan ketika ia harus meringkuk didalam penjara. (Fil 1:12-13). Kedua, karena ia memiliki suatu pengalaman hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus, bukan sekadar pengetahuannya tentang fakta-fakta yang ia ketahui tentang Kristus, di mana kuasa kebangkitan Yesus sendiri memberikan kepada Paulus suatu dinamika yang baru dan bermakna bagi kehidupannya sehari-hari (Fil 3:10). Ketiga, semangat Paulus yang mengandalkan Tuhan, bukan mengandalkan kekuatan diri sendiri. "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku".(Fil 4:13)
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia". (Filipi 1:29)
[Sumber: Buletin Shining Star, th V/No.51 Agustus 2003, hal 14-15]