Kejadian ini dialami salah seorang kawan saya yang anaknya -- sebut saja Upik -- dirawat di rumah sakit tempat saya bekerja. Setelah beberapa minggu dirawat, anak itu sembuh dan dapat pulang. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, orangtuanya berkunjung ke rumah saya. Dengan penuh semangat ia menceritakan bahwa kesembuhan anaknya itu berkat bantuan Samiatun.
Samiatun? Saya masih kurang paham dengan apa yang dibicarakan kedua orangtua Upik ini. Saya sampai memeras otak untuk mengingat-ingat karyawan atau petugas paramedis yang bernama Samiatun, tapi tak juga ketemu.
"Apa yang dilakukan Samiatun, Bu?" saya memberanikan diri untuk meminta penjelasan.
"Samiatun itu sangat membantu Upik kalau ia kesulitan ke belakang. Kalau tidak ada dia, mungkin anak saya sudah pipis di tempat tidur," tuturnya mencoba menjelaskan. Namun, saya masih tetap belum mengerti, bahkan malah tambah bingung.
"Kalau anak saya pipis, Samiatun diletakkan di bawahnya," kata ayah si Upik mencoba menjelaskan kebingungan saya.
"Ha ...?" saya hanya bisa melongo. "Apa yang telah dilakukan pada anak itu oleh Samiatun?" pikir saya.
"Hmm ... ciri-ciri Samiatun itu bagaimana, Bu?" tanya saya penasaran.
"Itu lo Mas, yang warnanya putih, dari plastik. Tempat untuk pipis. Namanya ´kan Samiatun, wong di situ jelas tertulis dengan huruf besar- besar: SAMIATUN. Begitu lo," jawab ibu si Upik.
"Ooo ... itu namanya pispot, Pak, Bu. Bukan Samiatun. Ditulis begitu karena itu tinggalan pasien lama yang bernama Samiatun," saya mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Mereka pun hanya mengangguk-angguk, mungkin sambil menahan malu. (Agus Sri Wardoyo, di Surabaya)
TUHAN memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku. (Mazmur 116:6)
Sumber: Intisari, April 2004.
- Log in to post comments