Submitted by Tim i-Humor on Mon, 04/16/2018 - 17:04

Ada kepercayaan yang dipegang secara luas bahwa pekerjaan sebagai komedian dan badut adalah bersifat sedih atau muram. Berbagai pendapat menjadi alasan terhadap kemuraman yang terasa begitu kuat, tetapi banyak yang berpendapat bahwa akarnya berkaitan dengan masa kecil yang tidak bahagia atau relasi yang bermasalah dengan orangtua. Menurut pandangan ini, penampilan komedian di atas panggung menjadi semacam mekanisme yang mengatasi, yang memampukan mereka untuk lari dari permasalahan mereka sehari-hari.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komedian sepertinya berasal dari lapisan masyarakat yang sosial ekonominya rendah, sekitar 85% komedian berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah. Kondisi keluarga yang sulit bisa menjadi alasan mengapa komedian mengejar karier mereka. Salah satu komentator di tulisan saya sebelumnya menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Pada dasarnya, karena persaingannya begitu ketat, dan peluang untuk berhasil di bisnis ini sangat rendah, orang-orang yang statusnya tinggi sebaiknya mencari yang lain, untuk mengusahakan karier yang bagus, pekerjaan dahulu, meskipun orang-orang yang statusnya rendah tidak beresiko dan karena itu bisa berspekulasi berkarier di komedi.

Satu penelitian yang telah dilakukan 30 tahun yang lalu menemukan bahwa dibandingkan dengan kelompok para aktor profesional dan pemain lainnya, komedian lebih asyik dengan tema tentang baik dan jahat dalam jawaban mereka terhadap wawancara dan ujian proyektif. Penulis dari penelitian itu menghubungkan penemuan ini dengan fakta bahwa orangtua dari calon komedian menempatkan banyak tanggung jawab pada mereka pada masa kecil mereka, menuntut mereka mengambil peran sebagai orang dewasa pada usia yang dini. Mereka bukan saja harus mengurus diri mereka sendiri, tetapi juga saudara-saudara kandungnya, dan banyak dari mereka yang bekerja saat remaja untuk membantu orangtua mereka. Tuntutan yang sebelum waktunya ini dan ekspektasi yang berat menjadi tekanan bagi komedian saat tumbuh besar dan menjadikan mereka mencari persetujuan, dan karenanya berusaha untuk menjadi “baik” seperti yang diharapkan oleh orangtua mereka. Kegagalan mencapai harapan orangtua mengakibatkan beraneka respon dari orangtua mereka. Para ayah biasanya kecewa bahwa para komedian tidak mencapai harapan mereka yang tinggi; karenanya komedian merasa “buruk” dari sudut pandang ayah mereka. Banyak ibu mereka yang menduga bahwa mereka akan gagal, dan hanya menunggu hal itu terjadi. Salah satu alasan mengapa komedian mengejar karier sebagai komedian adalah untuk membuktikan bahwa mereka tidak buruk, dan mereka berbuat “baik”.

Dibandingkan dengan aktor, komedian biasanya menggambarkan ayah mereka dengan lebih banyak istilah yang positif seperti “baik”, “ramah”, dan “terhormat.” Sebaliknya, mereka menggambarkan ibu mereka sebagai orang yang menjalankan aturan, menegakkan kedisiplinan, menghukum, dan memberikan kritik yang menyerang. Banyak komedian mengakui bahwa mereka ditampar, dipukul, dan dihukum ketika mereka melanggar aturan ibu mereka.

Sebaliknya, penelitian yang lain menemukan bahwa komedian laki-laki dilaporkan sangat kuat dekat dengan ibu mereka, yang menunjukkan bahwa ibu memainkan peranan yang lebih aktif dalam kehidupan mereka daripada ayah mereka. Ibu tampak sebagai figur yang lebih diterima daripada ayah, menggunakan waktu lebih banyak bersama mereka, mendorong mereka untuk mengejar karier sebagai komedian, dan memahami dengan lebih baik kebutuhan mereka untuk menjadi seorang komedian. Ayah lebih sering tidak hadir selama masa kecil mereka, atau umumnya tidak tertarik dengan karier mereka dan bahkan mengecilkan semangat mereka untuk mengejar karier itu. Ayah juga gagal dalam banyak hal untuk mendukung keluarga mereka, memaksa ibu mereka untuk pergi bekerja. Ayah juga benci akan ikatan yang erat antara ibu dengan anak yang berkeinginan untuk menjadi komedian.

Tetapi tunggu, sebuah penelitian berikutnya dengan komedian wanita menemukan tren yang sebaliknya. Komedian wanita merasa lebih dekat dengan ayah mereka, dan beberapa dilaporkan dibesarkan tanpa ibu, yang meninggal di usia yang sangat kecil. Ayah adalah model bagi para komedian wanita, dan mereka tumbuh besar mengagumi ayah mereka. Mirip dengan komedian laki-laki, ayah secara umum digambarkan sebagai penyedia kebutuhan yang buruk, dan komedian wanita merasa mereka perlu mendukung dan mendorong mereka. Ibu mereka digambarkan sebagai tidak sukses, bergumul, dan tidak bahagia, dan sebagian besar dari mereka menjalankan peran tradisional sebagai ibu rumah tangga. Relasi dengan saudara-saudara kandung baik, secara keseluruhan, dan yang menarik, 55% dari komedian wanita adalah anak terkecil di dalam keluarganya.

Penelitian-penelitian sebelumnya ini menemukan bahwa komedian dilaporkan memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya dan saudara kandung, meskipun mereka sering disalahmengerti, dijadikan sasaran dan dihina. Pengalaman masa kecil komedian ditandai dengan pemisahan, penderitaan, dan perasaan kehilangan. Dari pandangan ini, menjadi lucu menjadi sebuah mekanisme pertahanan terhadap rasa panik dan cemas. Hanya ketika di atas panggung itulah komedian bisa menikmati kelegaan sesaat dari rasa takut mereka. Kesimpulan dari beberapa penelitian adalah bahwa komedian itu sedih, tertekan, dan marah.

Semua pengalaman bersama dengan orangtua mereka, membuat komedian menjadi seperti diri mereka di dalam usaha untuk mendapatkan kontrol, persetujuan dari teman-teman dan keluarga, dan bukti bahwa mereka baik dan berharga. Penampilan komedian di atas panggung, berdasarkan pandangan ini, menjadi sebuah mekanisme pertahanan atau kompensasi terhadap kehidupan mereka yang sedih, di mana mereka berusaha untuk menyalurkan perasaan marah dan cemas mereka ke dalam babak komedi mereka dan berusaha mendapatkan cinta dari pemirsanya. Menggunakan humor sebagai sebuah mekanisme mengatasi masalag bukanlah sesuatu yang unik bagi komedi profesional; humor telah lama dipandang sebagai mekanisme pertahanan yang baik atau strategi untuk mengatasi masalah bagi orang dewasa serta anak-anak.

Akan tetapi, penelitian sebelumnya secara luas berdasarkan pada ujian proyektif dan melakukan pendekatan psikoanalitikal yang saat ini diperbaharui. Lagipula, wajah komedi telah banyak berubah sejak waktu penelitian ini, dan para komedian masa kini mungkin agak berbeda dari mereka yang diteliti di masa lalu. Hari ini, ada lebih banyak komedian profesional dan yang berkeinginan menjadi komikus, dan lebih banyak klub-klub komedi yang tampil beberapa kali setiap minggunya. Karena itu, sebuah karier di bidang komedi bisa jadi bukan lagi karier yang tidak biasa dan minor seperti dulu.

Untuk memahami dengan lebih baik tentang apa yang sedang terjadi, saya menggunakan alat yang lebih modern untuk menilai relasi komedian dengan orangtua mereka. Terutama, saya ingin menjawab dua pertanyaan:
1) Apakah komedian profesional memiliki relasi yang unik dengan orangtuanya dibandingkan dengan orang lainnya?
2) Apa saja pengalaman mereka di sekolah dan sifat relasi mereka dengan teman-teman sebaya? Hasilnya bisa menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengejaran karier sebagai komedian.

Saya memberi mereka dua kuesioner. Satu disebut Parental Bonding Instrument (PBI), dan mengukur gaya pengasuhan anak yang dirasakan oleh partisipan dalam peninjauan kembali. Dua belas hal mengukur “perhatian” orangtua (misalnya, “mengasihi saya”) dan tiga belas pengukuran “melindungi secara berlebihan” (misalnya, “berusaha untuk mengontrol semua yang saya lakukan”). Komedian menyelesaikan satu kuesioner seperti itu tentang ayah mereka, dan satu lagi tentang ibu mereka. Ukuran kedua yang saya gunakan adalah relasi dengan teman-teman sebaya. Komedian diminta untuk menjawab pertanyaan tentang teman-teman di sekolah, dan tentang seberapa banyak mereka memakai atau terlibat dengan humor berkaitan dengan kegiatan-kegiatan mereka dulu.

Berikut adalah penemuan utamanya:

Secara umum, tidak ada perbedaan dalam cara komedian menggambarkan bagaimana orangtua mereka memperlakukan mereka, dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Ini artinya tidak ada dukungan untuk menyatakan bahwa orangtua melindungi komedian secara berlebihan atau tidak memberikan cukup perhatian.

Perbedaan utama muncul berkaitan dengan cara komedian melaporkan memakai humor dengan teman-teman sebaya selama masa pertumbuhan mereka. Komedian memberikan nilai yang signifikan lebih tinggi pada masing-masing pertanyaan yang menyinggung kegiatan humor dengan teman-teman sebaya. Komedian melaporkan menertawai diri mereka sendiri lebih banyak daripada teman-teman yang lain, kelihatannya mereka menjadi badut kelas, mereka juga tampaknya lebih menjadi objek guyonan dan menertawakan orang lain, dibandingkan murid-murid lain. Komedian menilai diri mereka sendiri sama populernya dengan murid-murid yang lain, dan juga melaporkan memiliki jumlah teman yang sama dengan murid-murid lainnya selama tahun-tahun bersekolah.

Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi orang-orang yang akan menjadi komedian di dalam kelompok yang seumuran adalah penting bagi perkembangan mereka sebagai komedian. Hal ini konsisten dengan fakta bahwa humor merupakan fenomena sosial. Ada bukti yang sangat banyak yang menunjukkan bahwa orang yang terlibat dengan humor dan lebih sering tertawa ketika mereka ada bersama dengan orang lain daripada sendirian, dan bahwa humor memainkan peranan yang penting dalam ikatan pertemanan sebaya dan menarik pasangan. Menertawakan orang lain dan menjadi badut kelas membuat orang berhubungan dengan orang lain. Dijamin, tidak semua badut kelas menjadi komedian profesional, tetapi mereka yang begitu, bisa mengamati betapa orang lain menikmati humor mereka, dan memutuskan untuk meningkatkan ketrampilan mereka mengarah ke pengejaran untuk sebuah karier menjadi komedian. Penggunaan berbagai macam humor oleh komedian yang semakin dewasa bisa membangun kepercayaan diri mereka, memberikan pengalaman yang penting dan berkontribusi untuk pengembangan kepribadian mereka.

Sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, saya menemukan bahwa menjadi badut kelas berkaitan dengan menjadi populer secara umum, dan juga berkaitan dengan memiliki lebih banyak teman baik laki-laki maupun wanita. Relasi-relasi ini lebih kuat pada komedian daripada pada murid-murid, yang menunjukkan bahwa komedian mungkin menggunakan humor sebagai alat untuk persetujuan sosial.

Jadi, hasilnya tidak mendukung pandangan umum bahwa komedian khususnya memiliki relasi yang sulit dengan orangtua mereka (seperti ditunjukkan oleh skala perhatian dan melindungi-secara-berlebihan oleh PBI) atau teman-teman sebaya mereka. Perbedaan utama antara komedian profesional dengan murid biasa adalah bahwa komedian mampu mengingat bahwa mereka lebih lucu saat mereka remaja. Humor merupakan sebuah kegiatan sosial, dan karenanya, kita menduga bahwa motivasi untuk menjadi seorang komedian dan kemampuan humor yang sebenarnya, adalah dibentuk di dalam respon dari teman-teman sebaya, bukan orangtua.
(t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Psychology Today
Alamat URL: https://www.psychologytoday.com/blog/humor-sapiens/201311/why-do-comedians-become-comedians
Judul asli artikel: Why Do Comedians Become Comedians?
Penulis artikel: Gil Greengross, Ph.D.
Tanggal akses: 4 April 2017

Tentang Kami

Situs yang berisi kumpulan humor-humor bersih dan Kristen yang tidak mengandung unsur-unsur SARA dan pornografi.
Selengkapnya

Berlangganan
i-Humor SABDA

Dapatkan humor-humor segar untuk menemani hari-hari Anda.

Kontak Kami | Buku Tamu | E-Mail: webmaster(at)sabda.org
Disclaimer | i-Humor © 2003-2019
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Laporan Masalah/Saran